BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Krim
Krim adalah bentuk sediaan setengah padat yang mengandung satu atau lebih bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai. Istilah ini secara tradisional telah digunakan untuk sediaan setengah padat yang mempunyai konsistensi relatif cair yang diformulasikan sebagai emulsi air dalam minyak atau minyak dalam air. Sekarang ini batas tersebut lebih diarahkan untuk produk yang terdiri dari emulsi minyak dalam air atau dispersi mikro kristal, asam-asam lemak atau alkohol berantai panjang dalam air dan lebih ditujukan untuk penggunaan kosmetika dan estetika. Krim dapat digunakan untuk pemberian obat melalui vaginal (Depkes RI, 2014). Krim adalah bentuk sediaan setengah padat berupa emulsi yang mengandung satu atau lebih bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai (mengandung air tidak kurang dari 60%) (Syamsuni, 2006).
Berdasarkan beberapa definisi tersebut, secara ringkas dapat disimpulkan bahwa krim merupakan obat yang digunakan sebagai obat luar yang dioleskan kebagian kulit tubuh. Adapun definisi dari obat luar sendiri adalah obat yang pemakaiannya tidak melalui mulut (oral), kerongkongan dan kearah lambung. Menurut definisi ini yang termasuk obat luar adalah obat luka, obat kulit, obat hidung, obat mata, obat tetes telinga, obat wasir, injeksi (Widodo & Hendra, 2013). Keuntungan sediaan krim antara lain lebih mudah
diaplikasikan, lebih nyaman digunakan pada wajah, tidak lengket dan mudah dicuci dengan air (Rabima & Marshall, 2017).
Penyimpanan sediaan krim dalam wadah tertutup baik atau tube ditempat sejuk. Krim akan rusak jika terganggu sistem campurannya terutama disebabkan karena perubahan suhu dan perubahan komposisi yang disebabkan penambahan salah satu fase secara berlebihan atau pencampuran dua tipe krim jika zat pengemulsinya tidak tersatukan (Syamsuni, 2002). Agar lebih stabil krim harus ditambahkan zat pengawet. Zat pengawet yang digunakan umumnya metilparaben 0,12 - 0,18% ,atau propilparaben 0,02 - 0,15%. Komponen kemasan yang digunakan dalam pengemasan sediaan krim dan salep diantaranya, tube alumunium, polietilen berdensitas tinggi atau rendah dan penutup (Jhonston et al, 2010)
Persaratan sediaan krim
Stabil selama masih dipakai mengobati. Oleh karena itu, krim harus bebas dari inkompabilitas, stabil pada suhu kamar dan kelembaban yang ada dalam kamar.
Lunak. Semua zat dalam keadaan halus dan seluruh produk menjadi lunak dan homogen.
Mudah dipakai. Umumnya, krim tipe emulsi adalah yang paling mudah dipakai dan dihilangkan dari kulit.
Terdistribusi secara merata. Obat harus terdispersi merata melalui dasar krim padat atau cair pada penggunaan (Widodo & Hendra, 2013).
Penggolongan krim
Krim terdiri dari emulsi minyak dalam air atau dispersi mikrokristal asam-asam lemak atau alkohol berantai panjang dalam air, yang dapat dicuci dengan air serta lebih ditujukan untuk pemakaian kosmetik dan estetika. Krim di golongkan menjadi dua tipe, yaitu :
Tipe a/m, yaitu air terdispersi dalam minyak. Contohnya, cold cream. Cold cream adalah sediaan kosmetik yang digunakan untuk memberikan rasa dingin dan nyaman pada kulit, sebagai krim pembersih, berwarna putih dan bebas dari butiran. Cold cream mengandung mineral oil dalam jumlah besar.
Tipe m/a, yaitu minyak terdispersi dalam air. Contohnya, vanishing cream. Vanishing cream adalah sediaan kosmetik yang digunakan untuk membersihkan, melembabkan dan sebagai alas bedak. Vanishing cream sebagai pelembab (moisturizing) akan meninggalkan lapisan berminyak/ film padan kulit (Widodo & Hendra, 2013).
Kortikosteroid
Kortikosteroid topikal (KT) merupakan salah satu obat yang sering diresepkan dan digunakan untuk pasien dermatologi sejak pertama kali diperkenalkan pada awal tahun 1950-an. Sayangnya, KT sering kali digunakan secara tidak tepat baik oleh dokter, ahli farmasi, toko obat, ahli kecantikan ataupun pasien karena keampuhannya menghilangkan gejala dan tanda berbagai penyakit kulit. Hal tersebut tidak jarang menimbulkan masalah efek samping (Reyshiani, 2015). Efektivitas KT bergantung pada potensi kekuatan, veshikulum, frekuensi pengolesan, jumlah/banyaknya dan lama pemakaian. Selain diagnosis yang tepat, stadium penyakit, lokasi anatomi, faktor usia dan kepatuhan pasien juga ikut mempengaruhi keberhasilan terapi. Secara farmakologik penulisan resep KT harus rasional, terutama bila dikombinasikan atau dicampur dengan obat lain, serta selalu mempertimbangkan efek samping yang mungkin terjadi. Kortikosteroid merupakan derivat hormon kortikosteroid yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal. Hormon ini memainkan peran penting termasuk mengontrol respons inflamasi. Kortikosteroid hormonal dapat digolongkan menjadi glukokortikoid dan mineralokortikoid. Golongan glukokortikoid adalah kortikosteroid yang efek utamanya terhadap penyimpanan glikogen hepar dan khasiat antiinflamasi nyata. Prototip golongan ini adalah kortisol dan kortison, yang merupakan glukokortikoid alami. Terdapat juga glukokortikoid sintetik, misalnya prednisolon, triamsinolon, dan betametason. Golongan mineralokortikoid adalah kortikosteroid yang mempunyai aktivitas utama menahan garam dan terhadap keseimbangan air dan elektrolit. Umumnya golongan ini tidak mempunyai efek antiinflamasi yang berarti, sehingga jarang digunakan pada manusia, mineralokortikoid yang terpenting adalah aldosteron. Berdasarkan cara penggunaannya, kortikosteroid dapat dibagi dua, yaitu kortikosteroid sistemik dan kortikosteroid topikal (Reyshiani, 2015).
Komentar
Posting Komentar